Aku adalah
seorang tunanetra yang dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1993. Ade Saputra, itulah
nama yang kemudian dilekatkan pada diriku. Nama itu diberikan oleh seorang
Dokter yang bertugas di salah satu rumah sakit di kota Rantepau Tanah Toraja
yang sekarang termekarkan menjadi Toraja Utara. Ketika usia kelahiranku genap
beberapa hari, aku menjadi orang yang dapat melihat dunia ini dengan sempurna.
Tetapi Allah SWT memberikan ujian terberat kepadaku. Secara tak sengaja,
penyakit cacar kemudian merasukki mataku. Dan lama kelamaan, penyakit yang
datang secara tiba-tiba itu membuat penglihatanku terrengut. “Ya Allah, apa
sebenarnya yang Engkau inginkan dariku, mengapa Engkau memberikanku ujian
seberat ini? Itulah do’a yang kupanjatkan ketika usia ketunanetraanku genap
beberapa hari. Sebagai orang tua yang tak mau melihat anaknya mengalami
penderitaan, maka mereka berusaha mencari jalan agar aku bisa melihat seisi
dunia ini dengan sempurna. Mereka kemudian membawaku ke rumah sakit dimana aku
dilahirkan untuk menemukan solusi itu. Tapi apa yang terjadi, harapan
tinggallah harapan. Keinginanku untuk bisa melihat seisi dunia ini tak dapat
terwujudkan setelah dokter mengatakan “Anak anda dapat melihat dengan jalan
operasi”. Tetapi mereka tidak berputus asa. Mereka tetap menyayangiku sambil
tetap berharap kepada Sang Khaliq. Di dalam sujudnya setiap shalat 5 waktu,
mereka terus berdo’a agar Allah SWT senantiasa memberikanku ketabahan dalam
menjalani ujian dalam hidup ini. Aku hanya duduk merenungi nasib dan sambil
memegang beberapa permainan dengan menggunakan kedua belah tanganku, aku tetap
terus berharap agar Sang pencipta alam semesta selalu memberikanku kekuatan
dalam menjalani hidup ini. Hingga pada suatu ketika, di ruangan tamu yang
sederhana itu, ayahku duduk di sampingku. Dan sambil mengusap-usap bahuku aku
yang berusia 3 tahun bertanya dalam hati “Apakah ayah dan ibu tetap menerimaku
sebagai bagian dari keluarga meskipun aku seorang tunanetra?” Ayahku dengan
spontan menjawab “Kami tetap menerimamu meski kamu dalam keadaan tunanetra”.
Ayahku melanjutkan perkataannya “Kamu harus bersabar. Ini adalah cobaan dari
Allah SWT”. Kata ayahku sambil menyerubut kopinya.
Untuk
menghilangkan rasa galau dalam hatiku, setiap ayahku ke Makassar, ia tak lupa
membelikanku kaset-kaset ceramah koleksi Ustadz KH. Zainuddin MZ. Karena pada
waktu itu aku sangat menggemari ceramah dari beliau. Dan setiap selesai Shalat
Subuh, ayahku selalu memutarkan kaset demi kaset tersebut sehingga aku berusaha
menghafalkannya. Dan pada tahun 2002, aku mulai didadak
oleh pengurus Masjid besar Rantepau untuk mengisi ceramah Tarwih di bulan
Ramadhan. Awalnya aku hanya menggantikan siapa yang tidak sempat mengisi
ceramah tarwih. Tapi pada bulan Ramadhan tahun 2003, aku diberikan jadwal untuk
mengisi ceramah Tarwih. Pada awal 2003, aku dipanggil oleh sepupuku untuk
berangkat ke Negeri Jiran (Malaisia). Aku sangat senang menerima undangan itu. Aku
berada di sana kurang lebih 2 bulan. Selama aku berada di Malasia, aku selalu
bersama sepupuku berjalan-jalan. Bahkan ketika sepupuku pergi berjualan ke
pasar, tidak lupa mereka mengajakku. Dan tak terasa aku sudah 2 bulan berada di
Malasia. Aku harus pulang kembali ke Indonesia. Dengan menumpang perahu, aku
bersama tanteku menyeberang dari pelabuhan Tawao menuju ke pelabuhan Tarakan.
Dan aku bermalam di Tarakan selama 3 minggu. Setelah itu, aku berangkat dari
pelabuhan Tarakan kembali ke Makassar.
Pada
pertengahan tahun 2003, saat itu aku dan ayahku sedang berlibur ke Enrekang, waktu
itu malam hari dan aku sudah tertidur lelap. Tiba-tiba aku bermimpi. Dalam
mimpiku, aku sedang berada di rumah. Waktu itu pagi hari. Aku memandang keluar
jendela. Aku melihat anak-anak sedang berjalan menuju ke sekolah. Saat itulah,
timbulah keinginanku untuk bersekolah. Dan ketika pasca lebaran tahun 2003,
saat itu ayahku sedang menuju ke Pasar Enrekang. Di sana, ayahku sedang melihat
salah seorang tunanetra sedang memainkan keyboard. Saat itu ayahku tertegun
melihat orang itu sedang memainkan alat musik itu dengan indahnya. Setelah ia
memainkan keyboard, ayahku sedang berbincang-bincang dengannya. Dan dari
situlah ayahku memperoleh gambaran bahwa ia adalah salah seorang alumni salah
satu SLB di kota Makassar. Dan ia meminta agar aku dipertemukan dengan orang
tersebut. Walhasil, minggu berikutnya aku dan ayahku berangkat dari “Panette’”
menuju ke salah satu desa di bagian utara kabupaten Enrekang. Desa tersebut
bernama “Galung”. Dan di desa tersebut sedang berlangsung kegiatan
Halal-bihalal dalam rangka hari raya Idul fitri. Dan ketika kami baru tiba, ia
sedang berlatih memainkan lagu-lagu qasidah. Karena pada malam harinya, ia
dipercayakan untuk mengiringi perlombaan kasidah. “Inilah anak saya, ia juga
seorang tunanetra.”. Kata ayahku menjelaskan. “Sekolahkan saja di Makassar,
kebetulan ada salah satu sekolah ternama di Makassar namanya adalah YAPTI”.
Tandas orang tersebut yang ternyata bernama Muhammad Arifin. “Apakah di sana
anak-anak seperti anak saya akan berhasil?” Tanya ayahku kemudian. “Insya Allah.
Bahkan ada salah seorang alumninya sudah menjadi PNS”. Kata arifin lagi sambil
menekan tuts keyboardnya. Setelah berbincang santai, kamipun pulang kembali ke
“Panette’”. Sebenarnya sebelum pertemuanku dengan Muhammad Arifin, aku sempat
direncanakan akan dimasukkan di Pondok Pesantren. Tapi rencana itu gagal karena
Pondok Pesantren yang terletak di Kabupaten Bone yang nama Pesantren itu aku
tak tahu jelas namanya, hanya diperuntukkan untuk santriwati atau lebih dekenal
dengan Pesantren Putri. Pada akhir tahun 2003, aku dan ayahku kebetulan sedang
berlibur ke Makassar. Sembari menikmati liburan, ayahku kemudian mencari
informasi tentang keberadaan sekolah yang menerima tunanetra. Awalnya, ayahku
sempat bertandang ke SLB Cenrewasi. Tetapi, yang diterima di sana adalah jenis
kedisabilitasan lain seperti Tunarungu, Tunagrahita dan Tunadaksa. Kemudian
ayahku berkunjung ke SLB Tingkat Pembina Makassar yang berlokasi di JL. Daeng
Tata Raya Makassar. Di sanalah ayahku bertemu dengan salah seorang tunanetra
yang merupakan salah satu murit pertama di YAPTI. Ia bernama Bapak Irwan
Jabbar. Dengan petunjuk dari beliau, akhirnya ayahku berhasil mendapatkan
alamat SLB-A YAPTI Makassar. Bersama Pak Irwan, ayahku menuju ke SLB-A YAPTI
Makassar yang berlokasi di JL. Kapten Piere Tendean, blog m. No.7 Makassar. “Disinalah
SLB yang bapak cari”. Kata Pak Irwan sambil menunjuk ke arah sekolah. Setelah
berpanjang lebar, ayahku dan Pak Irwanpun meninggalkan Sekolah tersebut.
Setelah ayahku tiba di rumah, ia memberitahukan kepadaku bahwa “Kamu harus
bersekolah. Ayah sudah mendapatkan sekolah yang cocok untuk tunanetra
sepertimu!” Kata ayahku sambil membolak-balik koran yang sempat ia baca. Pada
tanggal 30 Maret 2004, saya sempat dimarahi oleh ayahku. Waktu itu hujan turun.
Dengan sisa-sisa penglihatan yang masih ku miliki, aku mengambil segayung air
dan aku sempat menyiram orang yang sedang mengendarai sepeda motor. Dan karena
ulah yang ku lakukan itu, ayah sempat memukulku dengan gagang kemoceng. Aku
berusaha menahan sakit sambil meneteskan air mata. Dan pada keesokan harinya
tepatnya pada pukul 14.00, aku bersama ayah dan ibuku berangkat menuju ke
Enrekang. Karena pada hari berikutnya, aku akan berangkat ke Makassar. Di tenga
perjalanan menuju ke Enrekang, aku sempat diguyur hujan. Karena aku dan ayahku
bersama naiksepeda motor, sedangkan ibuku sendiri menaiki mobil. Kami sampai di
Panette’ pada pukul 17:30.
Keesokan
harinya tepatnya pada tanggal 3 April 2004, kamipun berangkat ke Makassar
dengan menaiki mobil panter. Dan kami sampai di Makassar pada pukul 13.00
siang. Dan kami menginap di Rumah sepupuku di JL. Batua raya Makassar. Ketika malam
harinya, mimpi yang sebelumnya aku alami di Enrekang dulu ternyata datang
kembali menghiasi tidurku. Tapi kali ini lain. Aku bermimpi mengenakkan tas
ransel berwarna hitam, dan aku mengenakkan pakaian seragam putih merah. Aku
sedang berjalan menuju kelasku. Pada saat perjalananku menuju kelas, tiba-tiba
adzan subuh berkumandang. “Bangun, Shalat!” kata ayahku sambil
mengguncang-guncang tubuhku. ‘a................... apa ini udah subuh?” tanyaku
sambil mengangkat bahu. “Apa itu kau ngak dengar suara adzan?” Tanya ayahku
lagi. “ummmm........... ya..... “ kataku sambil berjalan menuju kamar mandi.
Setelah Shalat subuh, aku sempat duduk di ruangan tamu sambil menghirup udara
segar. “Gimana perasaan kamu hari ini?” tanya ibuku sambil meletakkan teh
hangat di depanku. “Ayolah kan hari ini mau masuk Asrama! Semangat dong”. Kata
ayahku sambil mengemasi baju-bajuku. “u............. OK deh ma pa, aku bakal
janji akan tetap jaga diri baik-baik kalau aku udah masuk Asrama. Aku bakal
sekolah baik-baik”. Kataku sambil menyeduh teh di meja. “Dan ingat, jangan
nakal-nakal di sana ya nak!” lanjut ibuku
seraya melangkah ke dapur.
Pada sore harinya, dengan diantar oleh ayahku,
kakak sepupuku dan ibuku aku berangkat dari Batua Raya menuju ke SLB-A YAPTI.
Waktu itu jalanan amat sedikit licin karena hujan sempat mengguyur kota Makassar.
Kami berangkat dengan menaiki Mobil Taksi. Beberapa menit kemudian, kamipun
sampai di YAPTI. Dengan diantar oleh Pak Ishak, kamipun menuju ke sebuah kamar
yang terletak di sebelah barat bagian bawa. “Nah, di
sinilah kamar kamu!. Kata pria yang menjabat sebagai pengelola harian panti
guna YAPTI itu. Setelah beberapa lama kemudian, datanglah seorang pria lain
yaitu DRS. HJ. Darma Pakilaran yang pada saat itu menjabat sebagai kepala
panti. “Perkenalkan ini kepala panti”. Kata salah satu binaan yang bernama
Hamzah. Sambil tersenyum, pria setengah tua itu menjabat erat tanganku.
Beberapa lama kemudian, ayahku, sepupuku dan ibuku berpamitan untuk pulang.
Sambil memelukku, mereka tak henti-hentinya menyemangatiku. “rajin-rajinko
belajar nak, dan janganko nakal”. Begitu pesan ayahku sambil memegang tanganku.
“Insya Allah saya akan tetap menjaga anakta”. Ucap Pak Ishak sambil berjalan
keluar kamar yang menjadi kamar tinggalku.
“Allahu Aqbar, Allahu
Aqbar”. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari Mushallah asrama. Dengan
dibimbing oleh Fadli, salah satu teman dari kamar lantai 2, aku berjalan sampai
akhirnya kamipun tiba di Mushallah.